Mantra merupakan salah satu tradisi yang tumbuh subur di masyarakat nusantara. Dalam dunia sastra, mantra dikategorikan sebagai sastra lisan, yaitu karya sastra yang secara oral diwariskan dari generasi ke generasi. Semua etnis di nusantara ini memiliki mantra-mantra tertentu yang mereka yakini mengandung kekuatan magis. Mantra-mantra ini ada yang diyakini sebagai penyembuh penyakit bahkan sampai pada mantra yang dipakai untuk kejahatan.
Di Sulawesi Tenggara, ada mantra yang diyakini sebagai mantra pengasih. Jenis mantra ini dimiliki oleh masyarakat etnis Muna dan Buton. Baik dalam masyarakat Muna maupun Buton, mantra ini disebut "kaasi" yang bisa diartikan "pengasih" atau "rasa kasih/ sayang". Sesuai dengan namanya, penggunaan mantra ini ditujukan agar si pemakainya dicintai, disayangi, serta mendapatkan simpati dari orang-orang yang melihatnya.
Dalam transmisinya, mantra ini hanya boleh diajarkan kepada orang yang masih dalam satu garis keturunan. Jika mantra ini diketahui oleh orang lain, diyakini khasiatnya akan luntur. Oleh karena itu, saat mengajarkannya, dipastikan tidak ada orang lain yang mendengar selain orang yang akan diajari. Karena alasan itu juga, mantra kaasi ada banyak jenisnya karena tiap garis keluarga memiliki mantra kaasi-nya masing-masing yang hanya mereka ajarkan pada keturunan mereka.
Ditinjau dari segi struktur tematik dan formulaiknya, mantra ini bisa digolongkan dalam sastra lisan puisi--dikatakan oleh Lord (1981) bahwa untuk menentukan adalah sebuah karya termasuk sastra lisan atau bukan dapat dilihat dari struktur formulaik dan tematiknya. Formulanya dapat dilihat dari pengulangan-pengulangan kata yang terdapat dalam mantra. Walaupun terdapat banyak versi dan muncul dalam dua etnis berbeda yaitu Muna dan Buton, namun terdapat formula yang sama dalam tiap mantra. Mantra ini umumnya terdiri dari tiga bait. Di tiap baitnya selalu ada pengulangan kata "kaasi" berupa "repetition" dan "penambahan imbuhan, misalnya: kamaasiku, maasiaka, maasiku, kokaa-kaasi, maasi-asi, kaa-kaasi, maasi. Kesemua kata-kata ini merupakan modifikasi dari kata kaasi yang kurang lebih memiliki makna yang sama.
Tidak hanya struktur formulaiknya, mantra-mantra kaasi juga memiliki struktur tematik berupa pengulangan tema. Baik mantra kaasi dalam etnis Muna maupun Buton, temanya selalu sama yaitu mengenai permohonan untuk dikasihi/disayangi. Umumnya, tema bait pertama adalah "perbandingan". Diri manusia dibandingkan dengan benda-benda yang dianggap indah, misalnya:
I onto aku kana moontono mina te gola
Kana moontono bulawa somongkilono
Dia melihatku bagai minyak dan gula
Bagai seorang melihat emas yang berkilau.
Bait kedua bertema "permohonan", yaitu permohonan kepada Allah agar dicintai/dikasihi oleh orang yang melihatnya. Sedangkan bait ketiga yang sekaligus bait terakhir berisi pujian kepada sang pencipta yaitu Allah SWT bahwa semuanya terjadi hanya atas kehendak dan berkah dari Allah lalu diakhiri dengan kalimat tasbih. Penyebutan nama Allah SWT dan permohonan yang ditujukan kepada Allah SWT ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan kedua etnis ini sangat dipengaruhi oleh agama Islam.
Selain mantra kaasi, masih banyak sastra-sastra lisan Nusantara yang menunggu untuk kita eksplorasi. Tidak hanya melihat strukturnya, tapi bisa jadi nilai-nilai dan makna yang ada di dalamnya. Belajar dari budaya, kita belajar tentang menjadi bijak. Mengenal budaya berarti mengenal identitas kita. Mari cintai budaya sendiri :)
1 komentar:
COOL UM... RYDHA.
Posting Komentar