RSS

TEORI STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS


 Zakridatul Agusmaniar Rane
13/351684/PSA/07465
 Program Pascasarjana Ilmu Sastra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
2013

1.      PENDAHULUAN
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi bahasa merupakan unsur yang sangat pentng dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu bahasa dan sosiologi merupakan dua hala tak terpisahkan. Marcel Mauss (via Allen, 1968) menuliskan bahwa “Sociology would certainly have progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists…”. Dengan kata lain sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Keterkaitan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Penemuan di bidang antropologi telah membantu perkembangan ilmu bahasa. Begitu juga perkembangan ilmu sosial tau antrolopogi dipengaruhi oleh pakar-pakar linguistik. Hubungan inilah yang pada akhirnya melahirkan teori strukturalisme Levi-Strauss.
Teori ini dirasa menarik untuk dibahas karena dianggap baru dalam dunia antropologi. Selain itu, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena budaya. Teori ini menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap sepele justru memiliki peran yang samngat penting dalam menemukan gejala sosial budaya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal penting berhubungan dengan teori strukturalisme Levi-Strauss dimulai dari sejarah hidup Levi-strauss, konsep strukturalisme yang ditawarkan oleh Levi-Strauss, dan asumsi dasar dari teori strukturalisme ini.

2.      SEJARAH HIDUP LEVI-STRAUSS
Claude Levi-Strauss dilahirkan di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1908 dan merupakan keturunan Yahudi, anak seorang pelukis sekaligus cucu dari seorang rabi. Pada tahun 1927 ia masuk ke Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama ia juga belajar filsafat di Universitas Sorbone. Di tahun 1935 Strauss mendapat kesempatan untuk menjadi pengajar di Sao Paulo Brazil dan melakukan ekspedisi ke daerah-daerah pedalaman Brazil yang memberinya kesempatan untuk mempelajari orang-orang Indian, Caduvo, dan Bororo. Dari ekspedisi itu ia akhirnya menghasilkan sebuah buku yang menjadi sangat penting di bidang antropologi ‘Tristes Tropique’ dan pada akhirnya mengangkat namanya. 
Pada tahun 1940, tepatnya saat perang dunia II meletus, Levi-Strauss pindah ke New York dan bertemu dengan seorang ahli bahasa asal Rusia, Roman Jackobson dan mengajar di The new school social research. Pertemuannya dengan Jackobson telah mengenalkannya pada linguistik modern yang kemudaian ia terapkan dalam bidang antropologi budaya. Strauss kemudian menerbitkan sebuah artikel “Analisis Struktural dalam Linguistik dan Antropologi” dalam jurnal World yang merupakan cabang dari The Linguistic Circle of New York yang dipimpin oleh Jackobson.
Tahun 1947 Levi-Strauss pulang ke Prancis dan mengajar di College pratique des hautes etudes dan tahun 1959 dia diangkat menjadi profesor dalam bidang antropologi di College de france. Karya-karya Levi-Strauss antara lain adalah Vie familiale et sociale des Indies Nambikwara (1948), Les structures elementaries de la parante (1949, 1959), Antropologie structural (1958) Mythologiques (1964), dan lain-lain. Levi-Strauss telah mendapat penghargaan tertinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di Prancis dari Centre national de la recherché scientifique (1968) dan menjadi anggota Academie Francaise.    

3.      KONSEP STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Levi-Strauss melahirkan konsep Strukturalismenya sendiri akibat ketidakpuasanya terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat itu tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik. Ia tidak setuju dengan Bergson yang menganggap tanda linguistik dianggap sebagai hambatan yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema via Wajiran 2008). Menurut Levi-Strauss bahasa yang digunakan merefleksikan budaya atau perilaku manusia tersebut. Oleh karena itu ada kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat.
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman hubungan antara bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss yaitu: 1) bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 2) bahasa merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. 3) bahasa adalah kondisi untuk untukkebudayaan, sebab ada kesamaan tipe antara apa yang ada pada kebudayaan itu dengan material yang digunakan untuk membangun bahasa.   
Hal yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur suatu benda atau aktivitas.  Namun, perubahan tersebut bukanlah perubahan yang sepenuhnya atau biasa diistilahkan sebagai proses transformasi. Dalam proses ini hanya bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang berubah sementara elemen-elemen yang lama masih dipertahankan. Prinsip dasar struktur dalam teori Levi-Strauss adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 2007: 378). Menurut Levi-Strauss, ada empat syarat model agar terbentuk sebuah struktur sosial yaitu:
1.      Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2.      Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga y ang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3.      Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4.      Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Strukturalisme Levi-Strauss bertolak dari linguistik dan konsep oposisi biner. walaupun bertolak dari linguistik, fokus dari teori ini bukan pada makna kata melainkan fokus pada bentuk (pattern) dari kata. Menurut Levi-Strauss bentuk-bentuk kata memiliki kaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sementara itu, oposisi biner dianggap sebagai konsep yang sama dengan organisasi pemikiran manusia dan kebudayaan. Misalnya kata ‘hitam-putih’ yang biasa dikaitkan dengan hitam sebagai kejahatan, kegelapan, keburukan dan putih sebagai kesucian, kebenaran, kebersihan, ketulusan, dan sebagainya. Atau kata rasional yang dianggap lebih istimewa dari kata emosional. Kata rasional dianggap superior dan diasosiasikan dengan laki-laki dan emosional sebagai inferior dan diasosiasikan dengan perempuan.
Levi-Strauss mengambil beberapa konsep Ferdinan de Saussure dalam menerapkan strukturalisme di bidang antropologi budaya. Hal yang utama adalah konsep tanda bahasa yang terdiri dari signifier (penanda) yang berwujud bunyi dan signified (petanda/ yang ditandai) yaitu satu konsep atau pemikiran. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau semena yang didasarkan pada hubungan konvensional satu masyarakat (Susanto, 2012: 98). Selain itu, Levi-Strauss juga menerapkan konsep langue dan parole. Langue merupakan satu sistem atau struktur yang sering disebut kaidah kebahasaan, sedangkan parole dapat diartikan sebagai pemakaian bahasa aktual sehari-hari.
Kurzweil dalam Barkah (2013) menerangkan Levi-Strauss memandang kajian bahasa Saussure sebagai sebuah system mandiri yang mengendalikan adanya suatu hubungan dinamis antara komponen setiap tanda lnguistik, yaitu system bahasa (langue) dan tututran individu (parole), serta antara citra bunyi (signifier) dan konsep (signified). Berdasarkan atas dualism tersebut, Levi-Strauss menerapkan model analisis fonemik yang dalam linguistic struktural bertujuan untuk membuktikan bahwa struktur semua bahasa selalu mengikuti garis biner konstruksi paralel.
Barkah (2013) menjelaskan bahwa menurut Levi-Strauss, sama halnya dengan fenomena bahasa, fenomena sosial budaya juga memiliki aspek bahasa (langue) dan tuturan individu (parole). Langue adalah aspek sosial atau struktural dari bahasa. Aspek inilah yang memungkinkan kita   menggunakan bahasa dalam komunikasi kita dengan orang lain yang mengenal bahasa yang sama. Aspek dari bahasa, dengan demikian tidak lain adalah tatabahasa atau aturan-aturan yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis dan simantis, yang pada umumnya bersifat tidak disadari atau tidak diketahui oleh pemakai bahasa itu sendiri. Walau tidak disadari bukan berarti aturan-aturan dari bahasa itu tidak ada. Parole atau tuturan merupakan aspek individual atau statistikal dari bahasa. Setiap orang akan memiliki parole yang berbedabeda. Parole dapat dikatakan sebagai gaya atau style seseorang individu dalam menggunakan suatu bahasa.
Susanto (2012: 89) menambahkan bahwa bahasa sendiri pada dasarnya berkaitan dengan kewaktuan dalam kajiannya yang diungkapkan melalui konsep singkronik dan diakronik. Diakronik maksudnya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakat, dan singkronik maksudnya bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan materi yang membentuk kebudayaan itu sendiri.
Selain itu aspek sintagmatik dan paradigmatik juga menjadi perhatian Levi-Strauss. Hubungan sintagmatik adalah relasi yang menunjukkan unsur-unsur kebahasaan yang saling berkaitan secara linear pada tataran tertentu. Hubungan paradigmatik memperlihatkan hubungan yang terdapat antara unsur-unsur kebahasaan pada tingkat tertentu yang saling menggantikan atau substitusi (Susanto, 2012: 98).
Kata-kata diucapkan tidak pernah bersama-sama dan tidak pernah ada dua kata diucapkan sekaligus. Aspek bertutur secara linier dalam bahasa inilah yang disebut dengan sintagmatik. Aturan-aturan yang mengendalikan dalam aspek ini merupakan sesuatu yang nir sadar. Aspek paradikmatik terdapat dalam hubungan asosiatif antara kata-kata yang ada dalam suatu kalimat atau tuturan dengan kata lain yang ada di luar kalimat tersebut. Dicontohkan oleh Ahimsa dengan kata ‘desa’. Dalam kalimat ‘saya tinggal di desa’, kata desa dapat digantikan dengan kata kota, kampung dan lain sebagainya. Dengan contoh itu dapat dipahami bahwa pada dasarnya bahasa mengandung aspek sintagmatik dan paradikmatik sekaligus. Dasar teori ini juga dapat dipergunakan dalam melihat fenomena budaya yang lain, contohnya karya seni.
Lebih lanjut Susanto (2012: 99) menjelaskan, Levi-Strauss juga dibayangi oleh pemikiran N. Trubetzkoy yang mengungkapkan konsep linguistik atau bahasa ternyata mampu mengalihkan dari gejala yang hanya bersifat kebahasaan, yang bersifat counscious atau sadar, ke dalam gejala yang bersifat kebahasaan yang unconscious atau ketidaksadaran. Hal ini tidak ditemukan dalam term-term (satuan lingual) yang berdiri sendiri, tetapi dalam basis analisis antara term tersebut. Hubungan atau relasi dalam term-term tersebut menunjukkan satu system tertentu. Strukturalisme yang dikembangkan Levi-Strauss ini pada akhirnya memfokuskan diri pada konteks yang lebih luas yaitu melihat konteks relasi antara sintagmatis dan paradigmatik atau asosiatif.
Menurut Lévi-Strauss fenomena kebudayaan dapat dilihat sebagai suatu fenomena kebahasaan. Alasan yang paling mendasari kenapa model pendekatan linguistik dapat digunakan untuk melihat fenomena kebudayaan, adalah karena: 1) bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 2) karena bahasa bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, dan 3) bahwa bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan.
Dengan dasar teori struktural bahasa itulah Lévi-Strauss berhasil melihat sesuatu di balik penampakan karya manusia. Sesuatu di balik benda (wujud karya) tersebut bukan lagi berupa visi atau misi, melainkan berupa nilai atau makna yang secara tidak sadar telah membentuk ide, gagasan, atau pemikiran seseorang. Dengan dimikian dapat dikatakan apapun yang ada di dunia ini, menurut pandangan Lévi-Strauss merupakan sistem yang memiliki struktur-struktur yang mengaturnya. Dijelaskan bahwa, arti timbul dari keadaan tanpa arti, dan arti itu sekedar hasil sekunder dari permainan diferensial tanda-tanda dan penanda-penanda (signifiant). Dalam Strukturalisme tatanan signifiant atau penanda mendahului makna, dengan kata lain bahwa berbicara tentang adanya manusia sebenarnya bukanlah sebagai subjek, sebaliknya adanya struktur itu sendiri berbicara tentang dirinya melalui pembicaraan manusia tentang adanya.
Dalam analisis struktural itu, Lévi-Strauss membedakan struktur menjadi dua macam; struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fonomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau dibangun. Lebih jauh dijelaskan bahwa struktur dalam inilah yang lebih tepat dipakai sebagai model memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.
Selain konsep strukutur, Lévi-Strauss juga memakai konsep transformasi. Transformasi yang dimaksud disini perlu dibedakan dengan pengertian transformasi sebagaimana umumnya diketahui. Secara umum dikenal pengertian transformasi sebagai perubahan, sedangkan transformasi yang dimaksud Lévi- Strauss adalah ‘alih rupa’. Perbedaan yang paling nyata antara keduanya adalah bahwa dalam konsep perubahan terkandung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu dalam ruang dan waktu tertentu. Adapun ‘alih rupa’ adalah suatu perubahan yang terjadi pada tataran muka, sedangkan pada tataran yang lebih dalam perubahan tersebut tidak terjadi.
Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Ia menggabungkan fungsi-fungsi secara vertikal dan menerangkan paradigmatik yang tumpang tindih menggunakan varian-varian mitos dengan model struktural yang tidak linear. Susanto (2012: 100) menjelaskan, Levi-Strauss menarik sebuah kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada di seluruh dunia tersebut pada hakikatnya bersifat semena atau arbitrer. Makna dalam satu mitos itu terletak dalam relasi-relasi atau keterkaitan antara elemen-elemen dalam mitos dengan mengombinasikan elemen-elemennya. Mitos dapat dikategorikan seperti dalam bahasa. Mitos bersifat  seperti bahasa  yang tersusun atas satuan-satuan unit yang serupa dengan elemen-elemen lingual dalam bahasa.
Namun, mitos tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan bahasa bila dilihat dari faktor waktu. Bahasa memang dapat diteliti pada faktor maktu tertentu atau pada waktu yang sama atau yang diistilahkan dengan sifat singkronik dan diakronik sesuai pada konsep langue dan parole. Mitos ternyata memiliki sifat kombinasi antara reversible time dan non reversible time. Hal ini berarti bahwa mitos sepanjang sejarah akan selalu sama meskipun dari waktu ke waktu penampilannya berbeda (Susanto, 2012:101)
.
4.   ASUMSI DASAR STRUKTURALISME
Ahimsa (2006 : 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut antara:
1.      Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa.
2.      Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri semua manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis yaitu kemampuan structuring. Ini adalah kemampuan untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi. Akan tetapi perwujudan ini tidak pernah komplit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.
3.      Mengikuti pandangan de Saussure bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.
4.      Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

5.      KESIMPULAN
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah hidup Lev i-Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep Strukturalisme yang dikembangkanny a sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman lapangan dan juga dari hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah mempengaruhi pemikirannya mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini. Poin pertama adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan melalui bahasa. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari masyarakat itu sendiri. Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu masyarakat merupakan gambaran adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat susunan yang mengandung arti bukan sekedar makna etimologis tetapi juga psikologis dan sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum bahasa merupakan gambaran dari masyarakat penuturnya. Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap fenomena budaya dapat dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa. Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Lev i-Strauss menyarankan agar para ahli antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam mempelajari fenomena-fenomena budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Shri, H. 2006. Strukturalisme Lev i-Strauss Mitos dan Kary a Sastra. kepel Press: Yogyakarta.
Barkah, Hendri Jihadul. 2013. Claude Levi-Strauss: Si Empu Strukturalisme. Tersedia di http://Fauziteater76.blogspot.com/2013/07/claude-levi-strauss-si-empu.html. Diakses tanggal 01 November 2013.
Levi-Strauss, Claude. 2007. Antropologi Struktural. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. CAPS: Yogyakarta.

Wajiran. 2008. Strukturalisme Levi-Strauss. Tersedia di http://wajirannet.blogspot.com/2008/01/strukturalisme-levi-strauss.html. Diakses tanggal 01 November 2013.